Dokter Lie Dharmawan, ‘Dokter Gila’ Pendiri Rumah Sakit Apung
Lie si ‘dokter gila’ nekat melayani daerah terpencil di Indonesia dan melakukan operasi di atas kapal
Genggaman tangannya masih kuat saat suara.com bertemu dokter Lie Dharmawan di kantor DoctorSHARE di kawasan Kemayoran, Jakarta, Kamis (12/11/2015), pekan lalu.
“Apa kabar?” selorohnya.
Beberapa dokter koleganya memang pernah menyebut dokter gaek 69 tahun, pemilik nama kecil Lie Tek Bie ini punya impian gila membangun rumah sakit terapung untuk berkeliling Indonesia melayani rakyat miskin di daerah terpencil.
Saking nekatnya, Lie sampai menjual rumahnya seharga sekitar Rp350 juta buat membeli kapal yang disulap menjadi rumah sakit terapung empat tahun lalu. Setahun kemudian, pada 2012, Lie bersama sejumlah dokter muda berkeliling Indonesia dan menjalankan misinya.
Dia mengaku sudah melakukan ratusan kali melakukan operasi besar dan kecil, plus ribuan pelayanan kesehatan di remote area di kapal tersebut.
Tak puas dengan aksinya, Lie, menggugah dua pengusaha yang belakangan menyumbangkan dua kapal armada untuk dijadikan rumah sakit apung. Muncul juga program ‘dokter terbang’ yang mampir di daerah pegunungan Papua.
Suara.com beruntung bisa menemuinya saat dia beristirahat di Jakarta. Dia bercerita tentang alasan, sampai pengalaman menariknya sebagai dokter keturunan Tionghoa yang selama melayani masyarakat di pedalaman Indonesia.
Bagaimana Anda ceritanya bisa sampai jadi ‘dokter gila’ yang nekat bikin rumah sakit apung dan keliling Indonesia?
Ketika saya pulang dari Jerman ke Indonesia, Anda tahu riwayat hidup saya.
Saya dari keluarga miskin. Saya lihat kemiskinan yang ada di Indonesia. Saya merasakan empatinya. Makanya saya pulang. Ada dua pilar yang menyokongnya, satu iman, dua nasionalisme saya. Kalau hanya berpijak pada iman, tidak usah saya pulang ke Indonesia.
Kalau saya melayani Tuhan saya, di Jerman saya sudah punya karier yang baik.
Tolong orang di sana adalah pelayanan kemanusiaan juga. Karena saya pulang ke Indonesia karena Ingin ikut membangun bangsa dan negara kita ini. Kepada kita tergantung nasib ke depannya. Kita tidak boleh mengharapkan belas kasihan. Jadi kombinasi iman dan nasionalisme ini lah yang membuat saya menjalankan segala-galanya.
Anda pasti menemui banyak hal aneh dan berkesan saat berpraktik di rumah sakit apung, boleh diceritakan apa saja itu?
Ada anak di Kalimantan Barat, Ketapang. Jalan darat 11 jam dengan sepeda motor. Dia punya hemangioma atau tumor pembuluh darah.
Dia datang, saya merasa kasihan. Tapi tidak ada darah dan tidak ada ICU. Saya merasa iba dan akhirnya saya lakukan operasi, tumornya sebesar telur ayam.
Saya kerjakan dan anak itu akhirnya anak itu sehat. Itu pengalaman yang mengharukan, heroik dan terlalu pede.
Apakah karena keberanian ini anda disebut “dokter gila”?
Ini salah satu kegilaan. Kapal ini tidak mempunyai izin sebagai rumah sakit, saya sudah mendaftar, saya sudah ke mana-mana. Tapi undang-undangnya belum ada. Saya pergi ke Kemenkes (Kementerian Kesehatan). Ditanya di mana alamat rumah sakitnya. Saya bilang “di seluruh Samudera Indonesia”.
Kalau inovasi saya harus menunggu regulasi terlebih dahulu, sementara penyakit tidak bisa menunggu. Mungkin orang akan berpikir 3-4 kali untuk memasukan saya ke hotel prodeo untuk menangkap saya.
Awalnya orang-orang yang menghina saya dan tidak percaya dengan ide saya. Kalau nggak salah, kolega saya sesama dokter yang mengatakan saya gila itu.
Mereka tahu semua, nggak mungkin membuat rumah sakit apung, karena nggak ada duit. Kapal yang begini kecil berjalan di Indonesia Timur itu nggak layak. Tapi saya bisa dan sampai dan ini sekarang (kapalnya) dalam perjalanan pulang ke sini setelah melakukan pelayanan 6 bulan di Maluku-Papua.
Anda melakukan ini karena negara tidak memberikan pelayanan maksimal?
Saya ingin mengatakan di ruang publik seperti ini kehadiran pemerintah belum bisa dirasakan. Kalau kita katakan tidak ada, ada lho. Ada puskesmas, tidak ada dokternya. Ada dokter, nggak ada puskesmas dan peralatannya.
Saat bertugas di Papua, apa yang Anda temukan?
Saya sudah membaca antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia ini besar dan terlebih-lebih seolah saya tidak ada di Indonesia. Seperti ketika saya datang ke Jakarta untuk memperkenalkan Indonesia sebelah timur.
Infrastrukturnya sama sekali tidak ada. Ketika Anda datang ke puncak gunung di pedalaman Papua, percuma Anda mempunyai smart phone dan uang jutaan.
Anda tidak bisa membeli sinyal itu. Saya tersesat 6 jam di hutan Papua pada malam hari. Saya cuma mengandalkan teriakan. Kebetulan suara saya suara orang Sumatera yang teriakan keras.
Di mana itu?
Gagemba, Juli tahun ini. Kami waktu itu dua orang tersesat di hutan. Saat kami memberikan pelayanan di Gagemba. Setelah selesai, saya bilang ayo kita keluar. Kita sudah seharian melihat orang sakit di sini. Kita lihat pemandangan yang lebih hijau. Jam 4-an. Maunya 15 menit.
Ketika pulang kami tidak bisa melihat tanda yang terpasang itu. Semua terlihat sama. Itu pada saat tidak ada bulan dan bintang. Kami hanya mengandalkan senter kami yang secara bergantian dinyalakan. Kami ditemukan jam 10-an.
Kami bertemu warga setempat. Kami tegur dan sapa mereka. Karena dua tidak bisa berbahasa Indonesia, kami diajak ke Honai dan di Honai juga tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia. Sampai kami dibawa ke suatu tempat dan ada yang kenal kami. Akhirnya saya diantar malam itu juga (ke lokasi pelayanan).
Anda kan keturunan Tionghoa dan masih banyak penduduk yang resisten dengan kesukuan, punya pengalaman soal ini?
Rasanya ketika kita datang dengan niat baik, resistensi itu tidak ada. Tapi primodialisme di Indonesia ini besar. Kami mengalami di Bengkulu, di Muko-muko. Ada Tsunami tahun 2000-an. Sesudah tsunami Padang. Saya naik ke gunung. Celakanya di Gunung itu orang transmigran banyak berasal Jawa, Bali dan Jawa Timur.
Si Jawa Bali ini tidak senang si Melayu datang, sebaliknya juga. Ketika kami datang ke gunung itu, yang ada tumbuhan cokelat, sawit dan enau.
Sampai sana sudah malam. Kami menyalakan genset. Antara mereka ini tidak cocok, yang satu berdiri di sini dan lain berdiri ke sana. Saya merasa ada ketegangan di sana. Saya bicara dengan pimpinannya, “kok kalian nggak ngobrol. Kalau kalian mau, saya ini orang Tionghoa. Saya datang dari Jakarta karena saya Indonesia. Kok kalian begini?”
Antara pimpinannya mengerti, kita ini bhineka, tapi kita harus tunggal di NKRI kita. Kami tidak akan mengadakan pelayanan satu untuk yang ini satu untuk yang itu. Kalau mau menjadi satu, tidak membedakan kelompok mana. Siapa saja datang ke sini duluan, lalu kami acak antreannya.
Artinya ada 3 misinya, pelayanan kesehatan, pengentasan kemiskinan dan misi politis?
Saya tidak melihat etnisitas saya. Saya mengaku di mana-mana dan itu tidak bisa dibohongi. Saya etnis Tionghoa. Saya bangga dengan etnis dan jati diri saya.. Pandangan politik saya adalah merah putih.
Rumah sakit apung sudah, lalu Anda mau buat apalagi dok?
Saya menularkan ke anak-anak saya, saya tularkan virus gila. Mereka panggil “papi” semua. Iman dan nasionalisme. Dua-duanya harus berjalan berjajar. Ketika kami melayani di Kabupaten Tambrauw di Papua Barat. Sekitar jam 15.00 WITA datang orang-orang yang akan mendapatkan pelayanan dari kami.
Saya jengkel, saya bilang “bapak-bapak kan sudah dikasih tahu mohon datang pagi hari. Kalau bapak datang sekarang, saya tidak bisa menyuruh pulang. Tapi saya yang menderita. Saya mengoperasi bapak-bapak sampai subuh. Kapan saya istirahat?”
Penerjemah saya bilang, mereka sudah berangkat keluar rumah dari subuh jalan kaki. Saya terperangah, hati saya luluh. Sejak itu saya berpikir, kalau begitu mereka harus kita hampiri, dalam bentuk praktik jemput bola. Di sana timbul ide, kita harus menghampiri mereka.
Dua hari kemudian, enam pilot datang ke sini. Mereka tanya bagaimana mereka bisa membantu dokter Lie. Jadilah kami mulai, kami terbang ke kota besar dari Jakarta. Terus ganti pesawat kecil. Dengan pesawat perintis kami terbang ke gunung, lalu kami lanjutkan perjalanan dengan sepeda motor dan terakhir berjalan kaki.
Bulan April tahun depan (2016) Saya akan 70 tahun. Itu awal mula The flying doctor Itu sudah hadir setahun. Saya sudah beberapa kali ke Papua. Kalau pelayanan rumah sakit apung sudah 3 tahun. Itu milikmu juga, bukan milik kami.
Kapal kedua nanti bakal diberi nama Nusa Waluya I, hari-hari ini akan berlayar menuju Jambi. Yang ketiga namanya Nusa Waluya II lagi dirombak di Balikpapan.
Merombak kapal itu biaya darimana, dari siapa?
93,5 persen penyokong dana doktershare itu dari grassroot. Uang yang sumbangkan itu lucu-lucu sepuluh ribu satu, sepuluh ribu enam, sejuta lima, jadi ada angga-angka kode gitu. Kami punya 1.000 orang secara rutin memberikan sumbangan sebulan.
Saya selalu mengatakan, kalau kita berhasil membuat sahabat DoctorSHARE kita berhasil mengumpulkkan 100 ribu rakyat Indonesia yang berempati.
10.000 saja sebulan sudah 1 M, DokctorSHARE bisa melakukan banyak kegiatan. Jangan khawatir kami akan menjadi kaya, kami akan membelanjakan uang itu untuk membuka program baru.
Ada pengusaha besar yang ikut menyumbang?
Saya optimistis, akan ada 100 juta sebulan yang memberikan. Saya optimistis akan ada.
Kapal pertama beroperasi sudah selama 3 tahun, sudah melakukan pelayanan medis berapa banyak?
Saya lakukan operasi besar dan kecil. Ada hermia yang besar, ketika orang itu berdiri hernia-nya sampai ke lututnya. Dia tidak bisa memakai celana. Semua ususnya sudah masuk ke skortum-ya (pelir). Itu harus dikeluarkan dan dikembalikan ke perutnya, tapi syukur orang itu sembuh.
Saya tidur setengah meter dari dia, dia nangis katanya haus. Iya bapak akan selesai operasi jangan minum dulu.
Nggak lama nangis lagi, saya lapar minta makan. Hampir sepanjang malam dia merintih. Sekarang saya bisa bercerita dengan tertawa, tapi dulu saya jengkel. Itu di Belitung Timur.
Saya tidak hafal berapa banyak, tapi 100 ribu yang kami berikan, sekian ratus yang mayor, sekian ratus yang minor.
Waktu dulu Anda menjual rumah berapa untuk beli kapal?
Saya menjual rumah Rp350 juta. Kapal itu Rp550 juta. Sisanya nombok. Itu kapal nggak ada apa-apanya. Karena kapal itu kapal barang. Maaf yah, kalau saat itu kita ketemu dan saya minta bantu Rp10 juta, kamu bakal bilang gila lu.
Tiap bulan selama bertahun-tahun penghasilan saya masuk sana.
Sampai miliaran sudah. Saya tadinya pikir beli kapal dan akan ada dua tingkat.
Tapi Tuhan berkata lain. Kalau saya bikin kapal dua tingkat, kapal akan tidak stabil karena gelombang besar. Kapal ini draft-nya 4,4 meter, di dalam lambung kapal bisa dibikin bangunan dua tingkat karena rumah sakit. Tapi dengan syarat ahli bedahnya tidak bisa lebih tinggi dari saya. Karena lambungnya pendek. Itu lah keuntungannya seorang kecil kayak saya.
Sudah ada berapa dokter yang terlibat?
Saya tidak bisa katakan jumlahnya. Karena dokter ini datang dan pergi. Tapi di data base kami ada 250 orang terlibat dan setiap saat dipanggil entah di sini dan di sana. Mereka tidak hanya dokter atau perawat. Anda kalau mau gabung silahkan. Perlu koki juga. Perlu awak lambung.
Rencana selanjutnya apa?
Tujuan akhir melihat Indonesia yang kuat, besar dan jaya. Dan kita melakukan tanpa mengatakan ini harus diselesaikan. Tapi kita bergerak terus berikan bukti tanpa berteori yang banyak. Kegagalan saya yang terbesar? Saya tidak pernah gagal.. Gagal bagi saya, ketika saya menghentikan usaha dan tidak melakukannya lagi.. Saya tidak membatalkan cita-cita saya. Saya melanjutkan semua.
Sumber:
https://www.suara.com/wawancara/2015/11/16/064600/dokter-lie-dharmawan-panggil-saya-dokter-gila
Genggaman tangannya masih kuat saat suara.com bertemu dokter Lie Dharmawan di kantor DoctorSHARE di kawasan Kemayoran, Jakarta, Kamis (12/11/2015), pekan lalu.
“Apa kabar?” selorohnya.
Beberapa dokter koleganya memang pernah menyebut dokter gaek 69 tahun, pemilik nama kecil Lie Tek Bie ini punya impian gila membangun rumah sakit terapung untuk berkeliling Indonesia melayani rakyat miskin di daerah terpencil.
Saking nekatnya, Lie sampai menjual rumahnya seharga sekitar Rp350 juta buat membeli kapal yang disulap menjadi rumah sakit terapung empat tahun lalu. Setahun kemudian, pada 2012, Lie bersama sejumlah dokter muda berkeliling Indonesia dan menjalankan misinya.
Dia mengaku sudah melakukan ratusan kali melakukan operasi besar dan kecil, plus ribuan pelayanan kesehatan di remote area di kapal tersebut.
Tak puas dengan aksinya, Lie, menggugah dua pengusaha yang belakangan menyumbangkan dua kapal armada untuk dijadikan rumah sakit apung. Muncul juga program ‘dokter terbang’ yang mampir di daerah pegunungan Papua.
Suara.com beruntung bisa menemuinya saat dia beristirahat di Jakarta. Dia bercerita tentang alasan, sampai pengalaman menariknya sebagai dokter keturunan Tionghoa yang selama melayani masyarakat di pedalaman Indonesia.
Bagaimana Anda ceritanya bisa sampai jadi ‘dokter gila’ yang nekat bikin rumah sakit apung dan keliling Indonesia?
Ketika saya pulang dari Jerman ke Indonesia, Anda tahu riwayat hidup saya.
Saya dari keluarga miskin. Saya lihat kemiskinan yang ada di Indonesia. Saya merasakan empatinya. Makanya saya pulang. Ada dua pilar yang menyokongnya, satu iman, dua nasionalisme saya. Kalau hanya berpijak pada iman, tidak usah saya pulang ke Indonesia.
Kalau saya melayani Tuhan saya, di Jerman saya sudah punya karier yang baik.
Tolong orang di sana adalah pelayanan kemanusiaan juga. Karena saya pulang ke Indonesia karena Ingin ikut membangun bangsa dan negara kita ini. Kepada kita tergantung nasib ke depannya. Kita tidak boleh mengharapkan belas kasihan. Jadi kombinasi iman dan nasionalisme ini lah yang membuat saya menjalankan segala-galanya.
Anda pasti menemui banyak hal aneh dan berkesan saat berpraktik di rumah sakit apung, boleh diceritakan apa saja itu?
Ada anak di Kalimantan Barat, Ketapang. Jalan darat 11 jam dengan sepeda motor. Dia punya hemangioma atau tumor pembuluh darah.
Dia datang, saya merasa kasihan. Tapi tidak ada darah dan tidak ada ICU. Saya merasa iba dan akhirnya saya lakukan operasi, tumornya sebesar telur ayam.
Saya kerjakan dan anak itu akhirnya anak itu sehat. Itu pengalaman yang mengharukan, heroik dan terlalu pede.
Apakah karena keberanian ini anda disebut “dokter gila”?
Ini salah satu kegilaan. Kapal ini tidak mempunyai izin sebagai rumah sakit, saya sudah mendaftar, saya sudah ke mana-mana. Tapi undang-undangnya belum ada. Saya pergi ke Kemenkes (Kementerian Kesehatan). Ditanya di mana alamat rumah sakitnya. Saya bilang “di seluruh Samudera Indonesia”.
Kalau inovasi saya harus menunggu regulasi terlebih dahulu, sementara penyakit tidak bisa menunggu. Mungkin orang akan berpikir 3-4 kali untuk memasukan saya ke hotel prodeo untuk menangkap saya.
Awalnya orang-orang yang menghina saya dan tidak percaya dengan ide saya. Kalau nggak salah, kolega saya sesama dokter yang mengatakan saya gila itu.
Mereka tahu semua, nggak mungkin membuat rumah sakit apung, karena nggak ada duit. Kapal yang begini kecil berjalan di Indonesia Timur itu nggak layak. Tapi saya bisa dan sampai dan ini sekarang (kapalnya) dalam perjalanan pulang ke sini setelah melakukan pelayanan 6 bulan di Maluku-Papua.
Anda melakukan ini karena negara tidak memberikan pelayanan maksimal?
Saya ingin mengatakan di ruang publik seperti ini kehadiran pemerintah belum bisa dirasakan. Kalau kita katakan tidak ada, ada lho. Ada puskesmas, tidak ada dokternya. Ada dokter, nggak ada puskesmas dan peralatannya.
Saat bertugas di Papua, apa yang Anda temukan?
Saya sudah membaca antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia ini besar dan terlebih-lebih seolah saya tidak ada di Indonesia. Seperti ketika saya datang ke Jakarta untuk memperkenalkan Indonesia sebelah timur.
Infrastrukturnya sama sekali tidak ada. Ketika Anda datang ke puncak gunung di pedalaman Papua, percuma Anda mempunyai smart phone dan uang jutaan.
Anda tidak bisa membeli sinyal itu. Saya tersesat 6 jam di hutan Papua pada malam hari. Saya cuma mengandalkan teriakan. Kebetulan suara saya suara orang Sumatera yang teriakan keras.
Di mana itu?
Gagemba, Juli tahun ini. Kami waktu itu dua orang tersesat di hutan. Saat kami memberikan pelayanan di Gagemba. Setelah selesai, saya bilang ayo kita keluar. Kita sudah seharian melihat orang sakit di sini. Kita lihat pemandangan yang lebih hijau. Jam 4-an. Maunya 15 menit.
Ketika pulang kami tidak bisa melihat tanda yang terpasang itu. Semua terlihat sama. Itu pada saat tidak ada bulan dan bintang. Kami hanya mengandalkan senter kami yang secara bergantian dinyalakan. Kami ditemukan jam 10-an.
Kami bertemu warga setempat. Kami tegur dan sapa mereka. Karena dua tidak bisa berbahasa Indonesia, kami diajak ke Honai dan di Honai juga tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia. Sampai kami dibawa ke suatu tempat dan ada yang kenal kami. Akhirnya saya diantar malam itu juga (ke lokasi pelayanan).
Anda kan keturunan Tionghoa dan masih banyak penduduk yang resisten dengan kesukuan, punya pengalaman soal ini?
Rasanya ketika kita datang dengan niat baik, resistensi itu tidak ada. Tapi primodialisme di Indonesia ini besar. Kami mengalami di Bengkulu, di Muko-muko. Ada Tsunami tahun 2000-an. Sesudah tsunami Padang. Saya naik ke gunung. Celakanya di Gunung itu orang transmigran banyak berasal Jawa, Bali dan Jawa Timur.
Si Jawa Bali ini tidak senang si Melayu datang, sebaliknya juga. Ketika kami datang ke gunung itu, yang ada tumbuhan cokelat, sawit dan enau.
Sampai sana sudah malam. Kami menyalakan genset. Antara mereka ini tidak cocok, yang satu berdiri di sini dan lain berdiri ke sana. Saya merasa ada ketegangan di sana. Saya bicara dengan pimpinannya, “kok kalian nggak ngobrol. Kalau kalian mau, saya ini orang Tionghoa. Saya datang dari Jakarta karena saya Indonesia. Kok kalian begini?”
Antara pimpinannya mengerti, kita ini bhineka, tapi kita harus tunggal di NKRI kita. Kami tidak akan mengadakan pelayanan satu untuk yang ini satu untuk yang itu. Kalau mau menjadi satu, tidak membedakan kelompok mana. Siapa saja datang ke sini duluan, lalu kami acak antreannya.
Artinya ada 3 misinya, pelayanan kesehatan, pengentasan kemiskinan dan misi politis?
Saya tidak melihat etnisitas saya. Saya mengaku di mana-mana dan itu tidak bisa dibohongi. Saya etnis Tionghoa. Saya bangga dengan etnis dan jati diri saya.. Pandangan politik saya adalah merah putih.
Rumah sakit apung sudah, lalu Anda mau buat apalagi dok?
Saya menularkan ke anak-anak saya, saya tularkan virus gila. Mereka panggil “papi” semua. Iman dan nasionalisme. Dua-duanya harus berjalan berjajar. Ketika kami melayani di Kabupaten Tambrauw di Papua Barat. Sekitar jam 15.00 WITA datang orang-orang yang akan mendapatkan pelayanan dari kami.
Saya jengkel, saya bilang “bapak-bapak kan sudah dikasih tahu mohon datang pagi hari. Kalau bapak datang sekarang, saya tidak bisa menyuruh pulang. Tapi saya yang menderita. Saya mengoperasi bapak-bapak sampai subuh. Kapan saya istirahat?”
Penerjemah saya bilang, mereka sudah berangkat keluar rumah dari subuh jalan kaki. Saya terperangah, hati saya luluh. Sejak itu saya berpikir, kalau begitu mereka harus kita hampiri, dalam bentuk praktik jemput bola. Di sana timbul ide, kita harus menghampiri mereka.
Dua hari kemudian, enam pilot datang ke sini. Mereka tanya bagaimana mereka bisa membantu dokter Lie. Jadilah kami mulai, kami terbang ke kota besar dari Jakarta. Terus ganti pesawat kecil. Dengan pesawat perintis kami terbang ke gunung, lalu kami lanjutkan perjalanan dengan sepeda motor dan terakhir berjalan kaki.
Bulan April tahun depan (2016) Saya akan 70 tahun. Itu awal mula The flying doctor Itu sudah hadir setahun. Saya sudah beberapa kali ke Papua. Kalau pelayanan rumah sakit apung sudah 3 tahun. Itu milikmu juga, bukan milik kami.
Kapal kedua nanti bakal diberi nama Nusa Waluya I, hari-hari ini akan berlayar menuju Jambi. Yang ketiga namanya Nusa Waluya II lagi dirombak di Balikpapan.
Merombak kapal itu biaya darimana, dari siapa?
93,5 persen penyokong dana doktershare itu dari grassroot. Uang yang sumbangkan itu lucu-lucu sepuluh ribu satu, sepuluh ribu enam, sejuta lima, jadi ada angga-angka kode gitu. Kami punya 1.000 orang secara rutin memberikan sumbangan sebulan.
Saya selalu mengatakan, kalau kita berhasil membuat sahabat DoctorSHARE kita berhasil mengumpulkkan 100 ribu rakyat Indonesia yang berempati.
10.000 saja sebulan sudah 1 M, DokctorSHARE bisa melakukan banyak kegiatan. Jangan khawatir kami akan menjadi kaya, kami akan membelanjakan uang itu untuk membuka program baru.
Ada pengusaha besar yang ikut menyumbang?
Saya optimistis, akan ada 100 juta sebulan yang memberikan. Saya optimistis akan ada.
Kapal pertama beroperasi sudah selama 3 tahun, sudah melakukan pelayanan medis berapa banyak?
Saya lakukan operasi besar dan kecil. Ada hermia yang besar, ketika orang itu berdiri hernia-nya sampai ke lututnya. Dia tidak bisa memakai celana. Semua ususnya sudah masuk ke skortum-ya (pelir). Itu harus dikeluarkan dan dikembalikan ke perutnya, tapi syukur orang itu sembuh.
Saya tidur setengah meter dari dia, dia nangis katanya haus. Iya bapak akan selesai operasi jangan minum dulu.
Nggak lama nangis lagi, saya lapar minta makan. Hampir sepanjang malam dia merintih. Sekarang saya bisa bercerita dengan tertawa, tapi dulu saya jengkel. Itu di Belitung Timur.
Saya tidak hafal berapa banyak, tapi 100 ribu yang kami berikan, sekian ratus yang mayor, sekian ratus yang minor.
Waktu dulu Anda menjual rumah berapa untuk beli kapal?
Saya menjual rumah Rp350 juta. Kapal itu Rp550 juta. Sisanya nombok. Itu kapal nggak ada apa-apanya. Karena kapal itu kapal barang. Maaf yah, kalau saat itu kita ketemu dan saya minta bantu Rp10 juta, kamu bakal bilang gila lu.
Tiap bulan selama bertahun-tahun penghasilan saya masuk sana.
Sampai miliaran sudah. Saya tadinya pikir beli kapal dan akan ada dua tingkat.
Tapi Tuhan berkata lain. Kalau saya bikin kapal dua tingkat, kapal akan tidak stabil karena gelombang besar. Kapal ini draft-nya 4,4 meter, di dalam lambung kapal bisa dibikin bangunan dua tingkat karena rumah sakit. Tapi dengan syarat ahli bedahnya tidak bisa lebih tinggi dari saya. Karena lambungnya pendek. Itu lah keuntungannya seorang kecil kayak saya.
Sudah ada berapa dokter yang terlibat?
Saya tidak bisa katakan jumlahnya. Karena dokter ini datang dan pergi. Tapi di data base kami ada 250 orang terlibat dan setiap saat dipanggil entah di sini dan di sana. Mereka tidak hanya dokter atau perawat. Anda kalau mau gabung silahkan. Perlu koki juga. Perlu awak lambung.
Rencana selanjutnya apa?
Tujuan akhir melihat Indonesia yang kuat, besar dan jaya. Dan kita melakukan tanpa mengatakan ini harus diselesaikan. Tapi kita bergerak terus berikan bukti tanpa berteori yang banyak. Kegagalan saya yang terbesar? Saya tidak pernah gagal.. Gagal bagi saya, ketika saya menghentikan usaha dan tidak melakukannya lagi.. Saya tidak membatalkan cita-cita saya. Saya melanjutkan semua.
Sumber:
https://www.suara.com/wawancara/2015/11/16/064600/dokter-lie-dharmawan-panggil-saya-dokter-gila
Comments
Post a Comment