Kisah Ayah Yang Cerewet Kepada Putranya

Silakan baca ini dengan seksama dan biarkan putra-putri Anda membacanya juga.

Sang putra tidak suka tinggal di rumah ayahnya, karena ayahnya selalu mengomel:

– “Kamu meninggalkan ruangan tanpa mematikan kipas !”

– “TV masih menyala di ruangan padahal tidak ada siapa-siapa. Matikan !!”

– “Simpan pulpen di tempatnya; itu tadi jatuh !”

Sang putra tidak suka ayahnya mengomelinya terus menerus untuk hal-hal kecil seperti ini.

Terpaksa dia harus terus mentoleransi hal-hal ini selama masih tinggal serumah.

Dan hari ini, ia mendapat jadwal wawancara kerja untuk pertama kalinya.

“Begitu saya mendapatkan pekerjaan, saya harus meninggalkan kota ini. Tidak akan ada lagi omelan dari ayah…”, begitu pikirannya.

Ketika dia hendak pergi untuk wawancara, sang ayah memberi saran:


“Jawablah tiap pertanyaan tanpa ragu-ragu. Bahkan jika kamu tidak tahu jawabannya, katakan saja dengan tetap percaya diri.”

Sang putra tiba di tempat wawancara. Dia memperhatikan ternyata tidak ada penjaga keamanan di gerbang. Meskipun pintunya terbuka, tetapi gerendelnya menonjol keluar, bisa saja tertabrak orang yang hendak masuk melalui pintu itu. Lalu dia mengembalikan letak gerendel dengan benar, menutup pintunya, lalu memasuki halaman kantor.

Di kedua sisi jalan masuk, dia melihat tanaman bunga yang indah. Tetapi tukang kebun rupanya lupa mematikan air. Air mengalir dari pipa selang, meluap di sepanjang jalan setapak, sementara tukang kebun tidak nampak.

Lalu dia mengangkat selang dan meletakkannya di dekat salah satu tanaman, kemudian mematikan keran air di dekat situ.

Dia pun melanjutkan langkahnya.

Tiba di dalam kantor, tidak ada seorang pun di area resepsionis. Beruntung ada lembar pengumuman, bahwa wawancara berada di lantai dua. Dia perlahan menaiki tangga.

Lampu yang pastinya dinyalakan tadi malam masih menyala. Sekarang sudah pukul 10 pagi. Dia teringat omelan ayahnya, “Mengapa kamu meninggalkan ruangan tanpa mematikan lampu?”

Dia merasa sedang mendengarnya sekarang. Meskipun dia merasa jengkel oleh pikiran itu, dia mencari saklar lalu mematikan lampu.

Di lantai atas di aula besar, dia melihat ada banyak calon pegawai duduk menunggu giliran wawancara. Melihat jumlahnya yang cukup banyak, dia berkecil hati, apakah mungkin dia bisa mendapatkan pekerjaan itu.

Hatinya gentar ketika dia menginjak keset bertuliskan “Selamat Datang” yang ditempatkan di dekat pintu. Dia memperhatikan bahwa keset itu terbalik. Lalu dia membaliknya dengan perasaan sedikit kesal. Sebuah kebiasaan yang sulit dihilangkan.

Kemudian dia melihat beberapa baris kursi di depan penuh orang yang sedang menunggu giliran, sedangkan barisan belakang kosong. Dia mematikan AC di bagian belakang yang tidak diperlukan, lalu duduk di salah satu kursi yang kosong.

Dari situ ia bisa melihat dengan jelas orang-orang yang masuk ke ruang wawancara kemudian langsung keluar pergi melalui pintu dan jalur lain yang sudah diatur. Cepat sekali mereka masuk lalu segera keluar lagi. Apa yang terjadi? Dia tidak mungkin bisa mendapat “bocoran” tentang hal-hal yang ditanyakan dalam wawancara.

Ketika tiba gilirannya, dia berdiri di hadapan pewawancara dengan hati gentar.

Seorang Boss mengambil sertifikat yang dibawanya, namun sama sekali tidak memeriksa isinya malah bertanya, “Kapan Anda bisa mulai bekerja?”

Sejenak dia berpikir, “Jangan-jangan ini pertanyaan jebakan, atau.. apakah benar ini sinyal bahwa dia telah akan diterima untuk pekerjaan itu?”

Dia bingung.

“Apa yang sedang kamu pikirkan?”, tanya si Boss.

“Kami tidak mengajukan pertanyaan apapun kepada siapa pun di sini. Dengan mengajukan beberapa pertanyaan, kami tidak akan bisa menilai keterampilan siapa pun. Jadi tes kami adalah untuk menilai sikap seseorang. Kami selalu melakukan tes tertentu berdasarkan perilaku para kandidat dan kami mengamati semua orang melalui CCTV. Tidak ada orang yang datang hari ini melakukan hal-hal seperti memasang gerendel di pintu, pipa selang, keset selamat datang, lampu atau AC yang tidak berguna. Anda adalah satu-satunya yang melakukan itu. Itu sebabnya kami memutuskan untuk memilih Anda untuk pekerjaan itu”, kata si Boss.

Hup !!

Sebelumnya dia selalu merasa jengkel terhadap disiplin dan omelan ayahnya. Sekarang dia menyadari bahwa hanya disiplinlah yang telah memberinya pekerjaan. Rasa kesal dan marah pada ayahnya sirna sepenuhnya.

Dia memutuskan akan membawa ayahnya juga ke kota tempat kerjanya nanti.
Baru kali ini dia pulang ke rumah dengan rasa bahagia.

Seorang ayah yang baik akan mendisplinkan kita dengan tujuan memberi kita masa depan yang cerah !

Batu karang tidak akan menjadi patung yang indah jika tidak mampu menahan rasa sakit akibat pahatan dari orang yang memotongnya.

Itulah yang dilakukan ayah kita ketika dia mendisiplinkan kita.

Seorang ibu mengangkat anak di pinggangnya untuk memberinya makan, memeluknya, dan membuatnya tidur. Tetapi ayah tidak seperti itu. Dia mengangkat anaknya ke pundaknya untuk membuat si anak melihat dunia yang belum bisa dia lihat sendiri.

Kita bisa mengerti rasa sakit yang dialami ibu dengan cara mendengarkannya; tetapi rasa sakit seorang ayah yang baik baru dapat diketahui hanya ketika ada orang lain yang menjelaskannya.

Ayah kita adalah guru ketika kita berusia lima tahun; penjahat yang mengerikan ketika kita berusia sekitar dua puluh tahun, dan petunjuk hidup bagi sepanjang hidup kita.

Seorang ibu dapat pergi ke rumah putrinya atau anak lelakinya ketika dia tua; tapi seorang ayah tidak tahu cara melakukan itu.

Tidak ada gunanya menyakiti hati orang tua kita ketika mereka masih hidup dan baru merasa kehilangan ketika mereka telah meninggal.

Perlakukan mereka selalu dengan baik.

Comments

Popular posts from this blog

Es Ceria